ASSALAMU A'LAIKUM WARAHMA TULLAH.. MUGA CERIA BAHAGIA, DISAMPING YANG TERSAYANG.. YANG TERCINTA.. AMIN..


1 June 2017

IBUKU TIDAK ADIL DALAM BERSIKAP KEPADAKU. APA YANG HARUS SAYA LAKUKAN.?

Soal:

Saya seorang anak perempuan yang sering dibeza-bezakan daripada adik lelaki saya. Malah sejak kecil jika ada kesalahan yang berlaku, walaupun bukan salah saya akan ibu saya menyalahkan saya. Apalagi jika salah saya, akan dibuatnya saya makin bersalah. Tidak ada yang saya buat dibanggakan oleh ibu saya. Tetapi adik lelaki saya selalu dipujinya, dilindungi dari marahnya dan diberi muka.

Sekarang saya sudah dewasa dan berumahtangga, saya makin lagi diasingkan. Kata ibu saya, saya sudah berkahwin dan tidak memasukkan saya dalam hal ehwal keluarga. Saya rasa amat tersingkir kerana saya yang tua dan sebelum berkahwin pun, saya yang coba menguruskan famili saya setelah bapa saya bercerai yang ibu saya. Saya fikir sudah dewasa tidak mahu memikirkan atau mengambil hati tentang hal perbezaan layanan yang terjadi antara saya dan adik lelaki saya, tetapi kadangkala percakapan danperbuatan ibu saya amat mengecilkan hati saya. Saya sanggup dan sudah minta ampun segala dosa saya yang ibu dan malah sudah coba berbaik yang adik lelaki saya, tetapi mereka tidak pernah mengaku dan minta ampun yang saya. Adik lelaki saya yang selalu dimenangkan, menjadi tiada hormat yang saya, kakaknya yang tua darinya.

Baru-baru ini saya jadi agak bosan dengan perangai mereka yang melampaui batas, lalu saya marah dengan ibu saya. Saya rasa ini perasaan yang terpendam sekian lama ditindas bulat-bulat oleh mereka. Saya akui kedudukan saya sebagai anak dan saya mungkin berdosa & salah menunjukkan perasaan marah dengan ibu saya.

Tetapi saya ingin tahu apakah seorang anak tiada hak untuk menyuarakan kebenaran atau perasaannya?

Saya rasa amat tertekan dan juga seperti timun dalam hal ini. Rasanya sebagai anak, apa saya persuarakan kepada ibu akan jadi dosa dan bersalah. Jadi, dimanakah hak seorang anak terhadap orang tua? Dimanakah keadilan?

Saya rasa mahu pergi jauh kerana kehadiran saya seperti tidak diperlukan lagi dan jika saya jijik bagi mereka, buat masa ini saya mahu menjauhkan diri.

Wajarkah perbuatan saya yang ingin mengelakkan pergaduhan, ketegangan dan tekanan. Adakah saya berdosa dan bersalah?

Dari Anak Yang Malang

Alhamdulillah wash-shalatu wassalam ‘ala Rasulillah.

Sebelum saya jawab, saya kurang setuju dengan gelar yang saudari cantumkan untuk saudari. Sesungguhnya Allah Maha Adil dan Maha Memiliki Hikmah. Allah sangat mengetahui keadaan semua hamba-Nya. Saudari lebih tepat mendapatkan gelar ‘Seorang hamba yang sedang diuji’. Tidaklah ada ujian yang ditimpakan oleh Allah kepada hambanya kecuali akan menjadi kebaikan untuk hamba tersebut.

(فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ)

Artinya: “Ujian itu akan selalu menimpa seorang hamba sampai Allah membiarkannya berjalan di atas bumi dengan tidak memiliki dosa.”[1]


Yang saya pahami dari soal yang saudari tanyakan, semuanya berawal dari perceraian kedua orang tua sehingga tidak ada keseimbangan dalam keluarga dan perlakuan tidak adil sang Ibu kepada saudari. Dan jika saya ringkas dengan bahasa saya, soalnya menjadi sebagai berikut:

Bolehkah seorang anak marah kepada sang ibu ?

Apakah seorang anak boleh menyampaikan perasaan hatinya kepada ibu demi menyampaikan kesalahan yang telah diperbuat oleh sang ibu?

Bolehkah seorang anak menjauhi Ibunya untuk menghindari pertengkaran, kegaduhan dan tekanan dari sang ibu?

Bolehkah seorang anak marah kepada sang ibu ?


Marah karena perlakuan sang ibu yang tidak adil adalah suatu kewajaran. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengatasi rasa marah tersebut. Karena sifat manusia mudah terbujuk dengan rayuan setan, sehingga dengan kemarahan si setan terus mengobarkan api kemarahan tersebut sehingga menjadi semakin besar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati seorang sahabat ketika sahabat tersebut meminta nasihat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

( لَا تَغْضَبْ )

“Janganlah kamu marah!”[2]  Beliau mengulang-ulanginya. Ini menunjukkan bahwa kemarahan harus cepat dipadamkan. Jika tidak, maka akan membawa dampak yang sangat besar.


Ketahuilah ibu tetaplah menjadi sang ibu. Di antara seluruh manusia yang pernah berbuat baik kepada kita, tidak ada yang pernah memberikan kebaikan yang semisal dengan kebaikan sang ibu. Tidakkah kita ingat, bagaimana pengorbanan ibu ketika hamil selama kurang lebih sembilan bulan. Kesusahan yang dialami semakin menjadi-jadi dari hari-ke hari. Adakah di antara manusia yang pernah memberikan kebaikan itu kepada sang anak?

Tidakkah kita ingat, bagaimana pengorbanan ibu ketika melahirkan. Di bayang-bayangnya sebelum melahirkan, apakah saya sanggup menahan rasa sakit ketika kontraksi nanti? Apakah saya akan kuat mengeluarkan sang bayi yang ada di perut ini? Apakah nanti saya bisa bertahan hidup? Apakah nanti anak saya bisa keluar dengan selamat?

Oleh karena itu, adakah manusia yang pernah memberikan kebaikan seperti ini kepada kita selama kita hidup?

Sang ibu tetaplah menjadi sang ibu. Kita tetap harus berbuat baik dan berbakti kepadanya.

Apakah seorang anak boleh menyampaikan perasaan hatinya kepada ibu demi menyampaikan kesalahan yang telah diperbuat oleh sang ibu?

Seorang anak boleh menyampaikan perasaan hatinya, menyampaikan kebenaran dan menasihati sang ibu, jika beliau benar-benar salah. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara penyampaian sang anak kepada sang ibu agar beliau tidak marah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( رِضَاءُ اللَّهِ فِي رِضَاءِ الْوَالِدِ ، وَسَخَطُ اللَّهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ.)

“Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua. Kemurkaan Allah tergantung pada kemurkaan orang tua.”[3]


Kendatipun orang tua kita adalah seorang musyrik, kafir atau pelaku dosa besar, kita tidak boleh berbuat kasar kepada orang tua kita. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

{ وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا }

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS Luqman : 15)


Oleh karena itu, sebaiknya kita pilih situasi dan kondisi yang tepat untuk menasihati orang tua kita dan kita gunakan juga kata-kata yang halus dan sopan untuk menasihatinya. Sehingga orang tua tidak merasa digurui, tetapi sadar dengan sendirinya karena mengikuti alur pembicaraan dan orang tua tidak tersinggung dengan apa yang kita katakan.

Jika tidak berani untuk mengatakannya, mungkin menggunakan cara lain, seperti meletakkan buku, makalah atau tulisan yang berbicara tentang kewajiban orang tua di atas meja atau cara-cara sejenisnya.

Bolehkah seorang anak menjauhi Ibunya untuk menghindari pertengkaran, kegaduhan dan tekanan dari sang ibu?

Boleh saja menjaga jarak dengan sang ibu untuk menghindari hal-hal tersebut. Dan sudah sepantasnya sang anak harus sering banyak mengalah kepada sang ibu, terkecuali jika diperintahkan untuk melakukan perbuatan dosa atau maksiat. Terkadang banyak permasalahan timbul diakibatkan tidak ada pihak yang mau mengalah.

Meskipun seorang anak berjauhan dengan sang ibu, tidak berarti baktinya terputus kepadanya. Yang paling diharapkan oleh orang tua ketika anaknya menjadi dewasa adalah jangan sampai anaknya menjadi anak yang durhaka yang tidak memperhatikan orang tuanya.

Sering-seringlah berkomunikasi dengan alat-alat komunikasi yang ada pada zaman ini. Setidaknya, seorang anak sering menanyakan keadaan orang tuanya dan apa yang dibutuhkannya. Dengan demikian insya Allah akan terjalin hubungan yang harmonis di antara anak dengan orang tuanya.

Dan di akhir jawaban ini, saya ingin menyampaikan sebuah hadits yang mudah-mudahan bermanfaat untuk kita semua. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ)

“Sungguh menakjubkan keadaan seorang yang beriman. Seluruh urusannya dianggap baik. Tidaklah hal tersebut dimiliki oleh siapapun kecuali oleh orang yang beriman. Apabila dia mendapatkan kesenangan, dia bersyukur. Dan itu dianggap baik olehnya. Apabila dia mendapatkan kesusahan, dia bersabar. Dan itu dianggap baik olehnya.”[4]


Mudahan bermanfaat.



No comments: